Semua begitu cepat saat
Tuhan mengambil seseorang yang sangat berharga dihidupku. Kenapa harus dia?
Kenapa harus orang yang aku sayangi? Bahkan setelah dia meninggalkanku aku
masih menunggu dia kembali walaupun itu sangatlah mustahil.
Nafasnya sudah tidak
beraturan lagi, ada rasa sesak dibagian dadanya berusaha mengucapkan sesuatu
"Win...Edwin.. tunggu, aku cape istirahatlah dulu!" ucapnya sembari merebahkan tubuhnya diatas rumput, berusaha mengatur nafasnya
"kambuh lagi?" tanya Edwin sembari memegang erat sebelah tangan Mona
"Mon, tangan kamu hangat!" ucap Edwin, Mona hanya menggelengkan kepalanya lalu menutup matanya sesaat. Tangan lembut Edwin menyentuh kening Mona
"hangat, kita pulang. Kamu kuatkan?" Tanya Edwin
"Aku kuat!" jawab Mona tersenyum. Edwin beranjak dari duduknya lalu membantu Mona untuk berdiri namun Mona terjatuh, badannya sangat lemas
"biar aku gendong!" ucap Edwin, lalu mulai menggendong Mona
"Win berat yah?" tanya Mona
"aku kuat, aku kan laki-laki perkasa!" jawab Edwin yang terus berjalan dengan beban berat dipunggungnya
"Thanks Win!" ucap Mona, perlahan air matanya mulai jatuh membasahi sebagian baju Edwin
"Aku sayang kamu Edwin!" batin Mona
"aku akan lakukan apapun Mon, aku akan menjadi kaki kamu saat kamu tidak bisa berjalan nanti, aku akan menjadi tangan kamu saat tangan kamu tidak bisa berfungsi lagi, aku akan menjadi senyum kamu saat kamu tidak tersenyum lagi, aku janji!" batin Edwin
Mona menatap langit sore
dibalkon kamarnya, semua begitu indah. Mama melihat anaknya diambang pintu,
dihampirinya Mona lalu dipeluknya erat rasanya tak ingin dilepaskan
"kamu baik-baik saja sayang?" tanya Mama
"Mama!" ucap Mona, lalu Mama merubah posisinya menjadi duduk disamping Mona
"kamu baik-baik saja?" tanya mama sekali lagi
"Aku baik ma, hanya sampai kapan aku harus berteman dengan obat-obatan ini?" tanya Mona, mama memegang kedua pipi Mona dengan kedua tangannya lalu memeluknya kembali
"sampai kamu sembuh sayang!" jawabnya dengan air mata dipipi
"tapi kapan ma? aku bosan! aku lelah harus menahan rasa sakit yang sangat sakit, aku lelah mebuat orang-orang disekitarku kerepotan mengurusku, aku lelah ketika aku harus meminum obat sebanyak ini tapi tidak ada perubahan ma!" ucap Mona diiringi isak tangisnya
"mama mengerti sayang, mama mengerti, mama tau rasanya, kamu harus bersabar. Tuhan sayang padamu, semua itu butuh waktu sayang! ucap Mama sembari mencium kening anak satu-satunya itu
~aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa merasakan pelukan hangat ini, aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa melihat senyum mama lagi~ Mona
"kamu baik-baik saja sayang?" tanya Mama
"Mama!" ucap Mona, lalu Mama merubah posisinya menjadi duduk disamping Mona
"kamu baik-baik saja?" tanya mama sekali lagi
"Aku baik ma, hanya sampai kapan aku harus berteman dengan obat-obatan ini?" tanya Mona, mama memegang kedua pipi Mona dengan kedua tangannya lalu memeluknya kembali
"sampai kamu sembuh sayang!" jawabnya dengan air mata dipipi
"tapi kapan ma? aku bosan! aku lelah harus menahan rasa sakit yang sangat sakit, aku lelah mebuat orang-orang disekitarku kerepotan mengurusku, aku lelah ketika aku harus meminum obat sebanyak ini tapi tidak ada perubahan ma!" ucap Mona diiringi isak tangisnya
"mama mengerti sayang, mama mengerti, mama tau rasanya, kamu harus bersabar. Tuhan sayang padamu, semua itu butuh waktu sayang! ucap Mama sembari mencium kening anak satu-satunya itu
~aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa merasakan pelukan hangat ini, aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa melihat senyum mama lagi~ Mona
Edwin melihat Mona dengan
serius, terlihat senyum manis yang menghiasi wajah cantik Mona. Edwin adalah
teman SMP hingga sekarang mereka sudah lulus kuliah. Edwin tau semua tentang Mona,
terkadang dia iba melihat Mona yang terus-terusan meminum obat yang begitu
banyaknya. Waktu begitu cepat berlalu hingga tanpa sengaja perasaan yang aneh
muncul dihati mereka masing-masing. Edwin menatap Mona perlahan tangannya mulai
menyentuh lembut tangan Mona yang putih bersih, Mona menatap Edwin sesaat lalu
menyandarkan kepalanya dibahu Edwin
"taman yang indah!" ucap Mona
"ya, sama seperti wanita yang ada disampingku sekarang, indah!" ucap Edwin yang dibalas senyuman oleh Mona
"Mon, ada sesuatu yang aneh dihati aku, aku ga tau itu apa. Semua itu aneh bahkan terlalu sulit untuk diceritakan!" ucap Edwin
"Aku juga, ada sesuatu yang aneh entahlah aku tidak ingin memikirkannya!" Ucap Mona
"Apa keanehan yang kita rasakan sama Mon?" tanya Edwin. Mona menatap Edwin memberikan senyum terbaiknya lalu menyandarkan kepalanya kembali di bahu Edwin, tangan Edwin menggenggam erat tangan Mona
"maybe!" ucap Mona
"Seandainya aku punya perasaan lebih ke kamu?" tanya Edwin membuat Mona menatap Edwin kembali lalu melepaskan genggamannya
"itu ga mungkin Win!" jawab Mona
"itu mungkin Mona, aku sayang kamu, aku punya perasaan lebih dari seorang sahabat, aku ingin kamu jadi milik aku Mona!" ucap Edwin kembali menggenggam erat tangan Mona
"aku sakit Edwin, aku sakit, dan kamu tau itu kan?" ucap Mona, Edwin menyentuh pipi Mona yang mulai basah lalu mencium keningnya
"aku tau, tapi apa karna kamu sakit kamu harus bohongin perasaan kamu sendiri? aku akan terima kamu apa adanya, aku akan jagain kamu saat kamu sakit, aku akan ada disamping kamu saat kamu butuhin aku, aku janji!" ucap Edwin
"kamu janji?" tanya Mona
"ya, aku janji!" jawab Edwin, lalu perlahan mendorong tubuh Mona kedalam pelukannya
"taman yang indah!" ucap Mona
"ya, sama seperti wanita yang ada disampingku sekarang, indah!" ucap Edwin yang dibalas senyuman oleh Mona
"Mon, ada sesuatu yang aneh dihati aku, aku ga tau itu apa. Semua itu aneh bahkan terlalu sulit untuk diceritakan!" ucap Edwin
"Aku juga, ada sesuatu yang aneh entahlah aku tidak ingin memikirkannya!" Ucap Mona
"Apa keanehan yang kita rasakan sama Mon?" tanya Edwin. Mona menatap Edwin memberikan senyum terbaiknya lalu menyandarkan kepalanya kembali di bahu Edwin, tangan Edwin menggenggam erat tangan Mona
"maybe!" ucap Mona
"Seandainya aku punya perasaan lebih ke kamu?" tanya Edwin membuat Mona menatap Edwin kembali lalu melepaskan genggamannya
"itu ga mungkin Win!" jawab Mona
"itu mungkin Mona, aku sayang kamu, aku punya perasaan lebih dari seorang sahabat, aku ingin kamu jadi milik aku Mona!" ucap Edwin kembali menggenggam erat tangan Mona
"aku sakit Edwin, aku sakit, dan kamu tau itu kan?" ucap Mona, Edwin menyentuh pipi Mona yang mulai basah lalu mencium keningnya
"aku tau, tapi apa karna kamu sakit kamu harus bohongin perasaan kamu sendiri? aku akan terima kamu apa adanya, aku akan jagain kamu saat kamu sakit, aku akan ada disamping kamu saat kamu butuhin aku, aku janji!" ucap Edwin
"kamu janji?" tanya Mona
"ya, aku janji!" jawab Edwin, lalu perlahan mendorong tubuh Mona kedalam pelukannya
Satu hari setelah mereka
jadian, semua telah berubah. Malam ini Edwin mengajak Mona dinner untuk pertama
kalinya sebagai pasangan. Mereka duduk diujung restoran didekat kaca sehingga
pemandangan kota dimalam hari bisa terlihat sangat jelas dengan taburan bintang
dilangit. Edwin memesan satu piring steak dan Mona memesan satu piring pasta
"kamu suka?" tanya Edwin
"yeah! i like it!! kamu tepat memilih restoran Win!" puji Mona
"nikmatilah makanannya, ini sangat lezat!" ucap Edwin
"yea... i know!" ucap Mona sembari melahap pastanya
"Mon, mukamu pucat, apa kamu merasakan sakit?" tanya Edwin yang segera beranjak dari duduknya lalu duduk disamping Mona
"aku gapapa, aku sehat, ini hanyalah efek bedak sayang, aku tidak apa-apa sudahlah kita lanjut makan!" ucap Mona
"Mona aku pacar kamu, apapun yang terjadi kamu harus jujur ke aku, termasuk kalo kamu sakit!" ucap Edwin
"Edwin....... aku gapapa, aku baik, aku sehat, aku mau makan sudahlah kamu mengganggu saja!" kata Mona dengan sedikit tenaga mendorong Edwin
"makanlah!" ucap Edwin yang masih duduk disamping Mona
"uhmm aku akan ke toilet sebentar!" ucap Mona sembari beranjak dari duduknya. Baru setengah langkah Mona berjalan, Mona sudah kehilangan keseimbangan, Mona hampir jatuh namun Edwin segera menahannya
"Mona...!"
"aku gapapa, tenanglah!" kata Mona berusaha meyakinkan
"kita pulang!" ucap Edwin
"maaf merepotkan!" rintih Mona
"ini sudah menjadi tugasku!" ucap Edwin sembari memapah tubuh Mona
"kamu suka?" tanya Edwin
"yeah! i like it!! kamu tepat memilih restoran Win!" puji Mona
"nikmatilah makanannya, ini sangat lezat!" ucap Edwin
"yea... i know!" ucap Mona sembari melahap pastanya
"Mon, mukamu pucat, apa kamu merasakan sakit?" tanya Edwin yang segera beranjak dari duduknya lalu duduk disamping Mona
"aku gapapa, aku sehat, ini hanyalah efek bedak sayang, aku tidak apa-apa sudahlah kita lanjut makan!" ucap Mona
"Mona aku pacar kamu, apapun yang terjadi kamu harus jujur ke aku, termasuk kalo kamu sakit!" ucap Edwin
"Edwin....... aku gapapa, aku baik, aku sehat, aku mau makan sudahlah kamu mengganggu saja!" kata Mona dengan sedikit tenaga mendorong Edwin
"makanlah!" ucap Edwin yang masih duduk disamping Mona
"uhmm aku akan ke toilet sebentar!" ucap Mona sembari beranjak dari duduknya. Baru setengah langkah Mona berjalan, Mona sudah kehilangan keseimbangan, Mona hampir jatuh namun Edwin segera menahannya
"Mona...!"
"aku gapapa, tenanglah!" kata Mona berusaha meyakinkan
"kita pulang!" ucap Edwin
"maaf merepotkan!" rintih Mona
"ini sudah menjadi tugasku!" ucap Edwin sembari memapah tubuh Mona
Edwin membaringkan tubuh
Mona diranjang tempat tidurnya. Perlahan dia menyuapi Mona obat-obatan yang
biasa diminumnya. Lalu menyelimutinya
"istirahatlah!" ucap Edwin sembari mengelus lembut rambut Mona
"thanks!" kata Mona
"ya, ini sudah menjadi tugasku untuk menjagamu. Aku akan pulang, besok kamu harus tampil cantik aku akan membawamu kesuatu tempat!" ucap Edwin
"kemana?" tanya Mona
lihat saja besok!" jawab Edwin dengan senyuman terbaiknya
"baiklah!" kata Mona tersenyum lalu menutup matanya
"istirahatlah!" ucap Edwin sembari mengelus lembut rambut Mona
"thanks!" kata Mona
"ya, ini sudah menjadi tugasku untuk menjagamu. Aku akan pulang, besok kamu harus tampil cantik aku akan membawamu kesuatu tempat!" ucap Edwin
"kemana?" tanya Mona
lihat saja besok!" jawab Edwin dengan senyuman terbaiknya
"baiklah!" kata Mona tersenyum lalu menutup matanya
Mona
memandang pantulan dirinya dicermin yang cukup besar. Dengan gaun selutut
berwarna pink pucat, ditambah rambut yang digerai dan make up yang natural
nampak serasi dipakai oleh Mona. Tangannya mulai menyentuh botol parfum
kesukaannya, mencoba menyemprotkan kebeberapa bagian badannya, namun tangannya
begitu lemas, tidak bisa mengangkat botol parfum itu, Mona masih berusaha namun
botol parfum itu terjatuh ke lantai dan pecah
*praaaaak*
"Ya
tuhan, jangan sekarang!" ucap Mona sembari mengangkat kedua tangannya
hingga perut dan memandanginya
"Mon!"
sapa Edwin yang sudah berada dibelakang Mona
"Win,
kapan kamu datang?" tanya Mona bingung, dengan cepat dia menurunkan
tangannya
"barusan,
maaf langsung masuk aja soalnya tadi aku ketuk ga ada jawaban!" jawab
Edwin
"Oh
ya, aku bawa bunga buat kamu!" ucap Edwin sembari memberikan serangkai
bunga
"uhm
simpan saja dimeja aku mau siap-siap dulu!" ucap Mona yang kemudian
bercermin kembali
"baiklah!"ucap
Edwin sembari menyimpan serangkai bunga itu
"Mon!"
"iya
Win?"
"itu
botol parfum kesukaan kamu kan? kenapa bisa pecah?' tanya Edwin penuh selidik
"ehm
itu anu tadi pas aku lagi ngaca ga sengaja kesandung jadi pecah, belum sempet
aku beresin!" jawab Mona
"yaudah
ah kita berangkat!" ucap Mona yang berjalan keluar kamar
"Win
bisa kamu bukain pintu mobil untukku?" tanya Mona yang masih berdiri
tegak disamping mobil berplat E itu
"tidak
masalah!" kata Edwin tersenyum, dia lalu membukakan pintu mobil itu dan Mona
pun memasuki mobil disusul oleh Edwin
"kita
akan pergi kemana?" tanya Mona
"kita
akan melihat pesta kembang api dipusat kota!" jawab Edwin sembari menyetir
"kenapa
sedih?" tanya Edwin saat melihat raut wajah Mona berubah menjadi kecewa
"aku
salah kostum, harusnya aku tidak memakai gaun semewah ini kalo hanya melihat
pesta kembang api, seharusnya aku memakai pakaian santai sepertimu!" ucap
Mona
"Mona
kau tetap terlihat cantik, sudahlah hanya karna kostum mukamu tidak enak
dipandang!" ledek Edwin
"kaya
mukanya enak dipandang aja!" ledek Mona
"kamu
nih!" sembari mengelus lembut rambut Mona
malam
ini kembang api menjadi hiasan dilangit, Mona menyandarakan kepalanya dibahu
Edwin sembari menatap hangat kembang api itu
"kau
senang?" tanya Edwin
"ya,
terimakasih, karnamu aku bisa melihat indahnya kembang api ini!" jawab Mona.
Hampir satu jam mereka melihat ramainya kembang api hingga selesai, namun
mereka memutuskan untuk tetap ditempat itu beberapa saat
"aku
takut...!" ucap Mona, Edwin menatap Mona lalu menggenggam tangannya erat
"kalo
ini adalah hal yang aku rasakan untuk terakhir kalinya!" ucap Mona, air
matanya telah jatuh menetes
"sudahlah
Tuhan itu baik padamu, Tuhan menyayangimu, Tuhan selalu melindungimu!"
kata Edwin
"aku
percaya itu!" ucap Mona
~tapi
siapa tau tentang umur seseorang? sekalipun Tuhan menyayangiku, aku tidak tau
kapan Tuhan akan mengambil nyawaku~Mona
"Oh
Tuhan lidahku kelu, kenapa sulit sekali untuk berbicara, tanganku sulit untuk
digerakkan, Tuhan apa yang terjadi padaku?" bantinnya. Mona berusaha
beranjak dari tempat tidurnya
*bruuuuuuug*
Mona terjatuh dari tempat tidurnya
"Mamaaaaa...Mamaaaaaa
tolong Mona, Mona sakit mah tolong!" hatinya berteriak, dia menangis namun
tetap badannya tidak bisa digerakkan
"Mona
buka pintunya!" teriak seseorang dari balik pintu
"Edwin,
Edwin tolong aku!" rintihnya
"Aku
akan dobrak pintunya Mon, bersabarlah!" teriak Edwin
"Edwin
cepat dobrak pintunya tante khawatir!" ucap Mama yang terisak dalam
tangisnya
"1.......2.....3....!"
kata Edwin sembari mendobrak pintu itu, namun pintunya masih belum bisa terbuka
"1......2.......3....!"
Pintu itu akhirnya terbuka, Edwin dan mama segera berlari ke arah Mona yang
sudah terbaring dilantai
"Mona!"
Edwin menahan tubuh Mona dengan tangannya, air matanya mulai menetes begitupun
mama
"apa
yang sakit sayang?" mama mengelus lembut rambut anaknya yang sudah tidak
berdaya
"sa...kit....!"
ucap Mona terbata-bata
"kita
ke rumah sakit sekarang!" ucap Edwin. Edwin mulai mengangkat Mona dan
membawanya ke rumah sakit
Edwin
terus mondar-mandir didepan pintu dimana Mona dirawat. Hatinya tak tenang
melihat orang yang dia sayang sedang terbaring lemah dengan penyakitnya
"Edwin
duduklah sebentar!" ucap mama
"iya
tante!" ucap Edwin yang mulai duduk disebelah mama
"tante
pun sama takutnya sepertimu, panik bukan hal yang tepat, kita hanya perlu
berdoa dan terus berdoa tanpa henti!" ucap mama
"Aku
sayang Mona tante!" ucap Edwin sembari menatap lurus pintu ruang inap Mona
"tante
lebih sayang dia, dia anak tante, satu-satunya anak tante, satu-satunya yang
tante punya. Tapi sekarang dia didalam sedang melawan maut. Sedangkan tante
hanya bisa diam disini tanpa bisa menemani anak tante, tante takut kalo Mona
pergi!" ucap mama yang masih menangis, Edwin mulai memeluk Mama Mona
"aku
tau kau sayang pada Mona, aku percaya kau akan berikan hal yang terbaik untuk
Mona!" batin Mama
*ceklek*
dokter sudah selesai memeriksa Mona. Edwin dan mama menghampiri dokter itu
"bagaimana
keadaan anak saya dok?" tanya mama
"ada
yang perlu kita bicarakan nyonya!" ucap dokter itu
"kamu
temani Mona ya!" ucap mama
"baik
tante!" kata Edwin mulai memasuki kamar Mona
"mari
nyonya!" ucap dokter itu
"iya
dok!"
Edwin
memasuki ruang inap dimana Mona dirawat, matanya berkaca-kaca melihat Mona
dengan infus dan alat-alat kedokteran yang sangat banyak menempel dibadan Mona.
Perlahan Edwin menyentuh rambut Mona lalu dia mengecup lembut keningnya.
Disentuhnya tangan Mona dan diciumnya, air matanya benar-benar tidak bisa
tertahankan lagi
"kamu
sudah sadar??" tanya Edwin setelah melihat Mona membuka matanya, Mona
menjawab dengan anggukan pelan
"kamu
baik-baik saja?" Mona mengangguk pelan lagi
"aku
menyayangimu!" ucap Edwin. butiran bening mulai menetes membasahai pipi
Edwin
"jangan
menangis, aku baik-baik saja. Aku menyayangimu sangat menyayangimu lebih dari
kamu menyayangiku!" batin Mona
"nyonya
kanker otak yang diderita Mona sudah memasuki stadium akhir. Mona kehilangan
kemampuan berbicara, dia mengalami lumpuh permanen, karena syaraf-syarafnya
sudah tidak berfungsi seperti dulu!" ucap dokter itu
"Mona
lumpuh dokter?" tanya mama sekali lagi
"maaf
hanya sampai disini kemampuan kami!" ucap dokter itu
"kau
ini seorang dokter, apa tidak bisa kau kerahkan kemampuanmu agar Mona tidak
lumpuh? Apa tidak ada cara lain dokter agar Mona bisa sembuh?" tanya mama
dalam isak tangisnya
"satu-satunya
cara adalah kemoterapy dan operasi nyonya! Tapi saya rasa itu percuma, kanker
ini sudah tidak bisa diatasi!" jawab dokter
"Mona!"
rintih mamah
"kita
hanya bisa menunggu sampai kapan Tuhan akan memberi kesempatan hidup untuk Mona!"
lanjut dokter itu
"terimakasih
dokter!" ucap mama meninggalkan ruangan dokter itu
*ceklekk*
Edwin menatap pintu yang telah terbuka. Mama menghampiri Edwin dan Mona.
diciumnya kening Mona. Air matanya tak henti-hentinya mengalir
"tante,
Mona baik-baik saja?" tanya Edwin, mama menatap Edwin sesaat
"kita
bicarakan diluar!" jawab mama sembari keluar ruangan diikuti Edwin
"Mona
baik-baik sajakan tante?" tanya Edwin
"Mona
lumpuh Edwin, kanker otaknya sudah memasuki stadium akhir, tante takut Edwin
tante takut!" jawab mama seraya menghapus air matanya
"lumpuh?"
ucap Edwin, dia terduduk lemas, matanya berkaca-kaca, tak percaya dengan semua
ini
Satu minggu sudah Mona terduduk dikursi roda, dan selama itu pula Edwin menemani Mona. Dengan sabar dan penuh kasih sayang Edwin merawat Mona. Wajahnya semakin dekat, bahkan nafasnya bisa Mona rasakan, dikecupnya lembut bibir Mona oleh Edwin. Edwin menatap Mona, menghapus air matanya dengan ibu jarinya
"tenanglah,
aku tidak akan meninggalkanmu!" ucap Edwin tersenyum
"aku
percaya itu!" batin Mona
White
menjadi tema untuk pernikahan Mona dan Edwin, mereka sedang melakukan feeting
baju dan prawedding untuk pernikahannya minggu depan. Dengan gaun yang sangat
mewah dikenakan Mona membuat kesan indah, dan jas yang dipakai Edwin membuat
kesan gagah
"kamu
cantik!" ucap Edwin sembari menggenggam kedua tangan Mona
"aku
adalah lelaki yang paling bahagia karna bisa menikahi wanita secantik kamu Mon!"
lanjutnya lalu mengecup kening Mona
"ya
memang kamu beruntung Edwin bisa meluluhkan hati wanita cantik seperti Mona!"
ucap fotografer itu
"ya,
aku sangat menyayangi Mona melebihi aku menyayangi dirikiu sendiri!" ucap
Edwin sembari melemparkan senyum pada Mona yang sedang terduduk dikursi rodanya
dengan gaun pengantinya. Lalu Edwin menghampiri Mona
aku
takut bila suatu saat nanti aku pergi meninggalkanmu, meninggalkan mama, aku
takut!" batin Mona
"jangan
kamu fikirkan kata orang, aku menyayangimu tulus, tak peduli kamu sakit, kamu
lumpuh, kamu bisa, aku tak peduli, kau tetap terlihat cantik dan sempurna
dimataku!" ucap Edwin sembari memeluk Mona, Mona hanya bisa menangis dalam
pelukan Edwin
"Tuhan
jagalah mereka berdua dalam lindunganmu, berilah mereka kebahagiaan untuk
menjalin kasih sayang!" ucap mama yang melihat mereka dari kejauhan
Semua
tamu sudah berdatangan, dengan nuansa serba putih dan indah, bunga mawar putih
menghiasi sudut ruangan dan pesta pernikahan yang sangat mewah juga megah.
Kedua keluarga sudah datang untuk menyaksikan momen kebahagiaan Mona dan Edwin.
Semua terlihat bahagia, Edwin menunggu Mona dengan gugup didampingi kedua orang
tuanya dan Mona datang dengan gaun pernikahan yang sangat mewah dan duduk
dikursi roda yang didorong mama, Edwin tersenyum begitupun Mona, mereka berdua
duduk berdampingan didampingi orang tua masing-masing
"baiklah
bisa kita mulai?" tanya pak penghulu
"ya!"
jawab Edwin
"baiklah.
Bismillahirohmanirrohim dengan ini saya nikahkan saudara Edwin Ferddy bin
Asshabil Tian dengan Mona Rahma binti Hanantyo Gufron dengan seperangkat alat
sholat dan sekotak perhiasan dibayar tunai!" ucap pa penghulu
"Tuhan
jangan sekarang, biarkan sekali saja aku merasakan kebahagiaan. Jangan sekarang
aku mohon! errr sakit sekali!" batin Mona seraya menahan rasa sakitnya
"saya
terima nikahnya Mona Rahma binti Hanantyo Gufron dengan mas kawin tersebut
tunai!" ucap Edwin
"bagaimana
saksi sah?"
"sahh..!"
"Yarhamukalloh...!"
*bruuuk*
Mona jatuh pingsan
"Mona....Mona
bangun Mona, Mona kamu kenapa?" tanya Edwin panik
""Mona
sayang kamu kenapa? bangun sayang!" ucap mama yang ikutan panik. Edwin
mengangkat Mona dan membawanya menuju rumah sakit
Semua
panik, semua cemas, begitupun Edwin. Orang yang sekarang sudah menjadi istrinya
sekarang sedang melawan maut. Air matanya tak bisa tertahan lagi, kenapa harus
Mona? kenapa harus dihari bahagia ini? bertubi-tubi pertanyaan itu muncul
dihati Edwin
"sabar
Edwin, kamu harus berdoa untuk kebaikan istrimu!" ucap mama Edwin
"kenapa
ma, kenapa harus Mona ? kenapa harus sekarang?" tanya Edwin sembari
memeluk mamanya erat
*ceklek*
semua orang berdiri saat mendapati dokter yang sudah keluar dari ruangan Mona
"dokter
bagaimana dengan istri saya?" tanya Edwin cemas
"dokter
jawab!" bentak Edwin sembari menggoyang-goyangkan tubuh dokter itu
"tenanglah!
tenang dulu!" ucap dokter itu, Edwin melepaskan genggaman erat dibahu
dokter itu
"maaf
ini sudah kehendak Tuhan, saya hanyalah dokter, kami semua sudah berbuat
semaksimal mungkin, namun Tuhan berkata lain, dia terlalu sayang pada Mona
sehingga dia ingin Mona berada disampingnya! Mona telah meninggal!" ucap
dokter itu dengan berat hati. Kesedihan menyelimuti mereka semua, Edwin memukul
sekencang-kencangnya tembok rumah sakit meluapkan kemarahannya
"Edwin
sudah Edwin, ini sudah menjadi takdirnya!" ucap mama Edwin mencoba meredakan
emosi anaknya
"kenapa
ma, kenapa harus sekarang, kenapa harus dihari bahagia ini?" Edwin memeluk
mamanya dengan air mata yang tak berhenti. Mama Mona berlari menuju ruangan
dimana Mona menghembuskan nafas terakhirnya, dipeluk dan diciumnya anak itu
dengan air mata yang terus mengalir
"selamat
jalan sayang, semoga kamu bahagia dan tenang disana, mama menyayangimu!"
ucap mama. Edwin menatap Mona yang sudah terbaring tak bernyawa, dihampirinya
lalu dipandanginya dengan sedih
"sabar
Edwin, semua ini sudah takdir jangan salahkan takdir dan jangan
membencinya!" ucap Mama Mona lalu meninggalkan mereka berdua
"Mona
aku menyayangimu.. Kenapa harus sekarang dihari bahagia ini Mon? Aku ikhlas Mon
aku ikhlas, tidurlah, ku menyayangimu sangat menyayangimu. Aku pasti
merindukanmu, selamat jalan sayang!" ucap Edwin sembari mencium lembut
bibir Mona
Dipandanginya
makam Mona. Rasanya semua begitu cepat, serangkai bunga mawar putih kesukaan
Mona ditancapkan didekat nisannya
"selamat
jalan sayang, aku merindukanmu!" ucap Edwin, air matanya kembali menetes
"Edwin
ayo!" ucap mama Mona
"iya
ma!" ucap Edwin tersenyum lalu meninggalkan makam
~jaga
dia saat aku tak ada lagi disampingnya~Mona
0 komentar:
Posting Komentar