Rabu, 20 November 2013

Nothing Like Us

Nothing Like us
Semua begitu cepat saat Tuhan mengambil seseorang yang sangat berharga dihidupku. Kenapa harus dia? Kenapa harus orang yang aku sayangi? Bahkan setelah dia meninggalkanku aku masih menunggu dia kembali walaupun itu sangatlah mustahil.
Nafasnya sudah tidak beraturan lagi, ada rasa sesak dibagian dadanya berusaha mengucapkan sesuatu

"Win...Edwin.. tunggu, aku cape istirahatlah dulu!" ucapnya sembari merebahkan tubuhnya diatas rumput, berusaha mengatur nafasnya
"kambuh lagi?" tanya Edwin sembari memegang erat sebelah tangan Mona
"Mon, tangan kamu hangat!" ucap Edwin, Mona hanya menggelengkan kepalanya lalu menutup matanya sesaat. Tangan lembut Edwin menyentuh kening Mona
"hangat, kita pulang. Kamu kuatkan?" Tanya Edwin
"Aku kuat!" jawab Mona tersenyum. Edwin beranjak dari duduknya lalu membantu Mona untuk berdiri namun Mona terjatuh, badannya sangat lemas
"biar aku gendong!" ucap Edwin, lalu mulai menggendong Mona
"Win berat yah?" tanya Mona
"aku kuat, aku kan laki-laki perkasa!" jawab Edwin yang terus berjalan dengan beban berat dipunggungnya
"Thanks Win!" ucap Mona, perlahan air matanya mulai jatuh membasahi sebagian baju Edwin
"Aku sayang kamu Edwin!" batin Mona
"aku akan lakukan apapun Mon, aku akan menjadi kaki kamu saat kamu tidak bisa berjalan nanti, aku akan menjadi tangan kamu saat tangan kamu tidak bisa berfungsi lagi, aku akan menjadi senyum kamu saat kamu tidak tersenyum lagi, aku janji!" batin Edwin

Mona menatap langit sore dibalkon kamarnya, semua begitu indah. Mama melihat anaknya diambang pintu, dihampirinya Mona lalu dipeluknya erat rasanya tak ingin dilepaskan
"kamu baik-baik saja sayang?" tanya Mama
"Mama!" ucap Mona, lalu Mama merubah posisinya menjadi duduk disamping Mona
"kamu baik-baik saja?"  tanya mama sekali lagi
"Aku baik ma, hanya sampai kapan aku harus berteman dengan obat-obatan ini?" tanya Mona, mama memegang kedua pipi Mona dengan kedua tangannya lalu memeluknya kembali
"sampai kamu sembuh sayang!" jawabnya dengan air mata dipipi
"tapi kapan ma? aku bosan! aku lelah harus menahan rasa sakit yang sangat sakit, aku lelah mebuat orang-orang disekitarku kerepotan mengurusku, aku lelah ketika aku harus meminum obat sebanyak ini tapi tidak ada perubahan ma!" ucap Mona diiringi isak tangisnya

"mama mengerti sayang, mama mengerti, mama tau rasanya, kamu harus bersabar. Tuhan sayang padamu, semua itu butuh waktu sayang! ucap Mama sembari mencium kening anak satu-satunya itu

~aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa merasakan pelukan hangat ini, aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa melihat senyum mama lagi~ Mona

Edwin melihat Mona dengan serius, terlihat senyum manis yang menghiasi wajah cantik Mona. Edwin adalah teman SMP hingga sekarang mereka sudah lulus kuliah. Edwin tau semua tentang Mona, terkadang dia iba melihat Mona yang terus-terusan meminum obat yang begitu banyaknya. Waktu begitu cepat berlalu hingga tanpa sengaja perasaan yang aneh muncul dihati mereka masing-masing. Edwin menatap Mona perlahan tangannya mulai menyentuh lembut tangan Mona yang putih bersih, Mona menatap Edwin sesaat lalu menyandarkan kepalanya dibahu Edwin
"taman yang indah!" ucap Mona
"ya, sama seperti wanita yang ada disampingku sekarang, indah!" ucap Edwin yang dibalas senyuman oleh Mona
"Mon, ada sesuatu yang aneh dihati aku, aku ga tau itu apa. Semua itu aneh bahkan terlalu sulit untuk diceritakan!" ucap Edwin
"Aku juga, ada sesuatu yang aneh entahlah aku tidak ingin memikirkannya!" Ucap Mona
"Apa keanehan yang kita rasakan sama Mon?" tanya Edwin. Mona menatap Edwin memberikan senyum terbaiknya lalu menyandarkan kepalanya kembali di bahu Edwin, tangan Edwin menggenggam erat tangan Mona
"maybe!" ucap Mona
"Seandainya aku punya perasaan lebih ke kamu?" tanya Edwin membuat Mona menatap Edwin kembali lalu melepaskan genggamannya
"itu ga mungkin Win!" jawab Mona
"itu mungkin Mona, aku sayang kamu, aku punya perasaan lebih dari seorang sahabat, aku ingin kamu jadi milik aku Mona!" ucap Edwin kembali menggenggam erat tangan Mona
"aku sakit Edwin, aku sakit, dan kamu tau itu kan?" ucap Mona, Edwin menyentuh pipi Mona yang mulai basah lalu mencium keningnya
"aku tau, tapi apa karna kamu sakit kamu harus bohongin perasaan kamu sendiri? aku akan terima kamu apa adanya, aku akan jagain kamu saat kamu sakit, aku akan ada disamping kamu saat kamu butuhin aku, aku janji!" ucap Edwin
"kamu janji?" tanya Mona
"ya, aku janji!" jawab Edwin, lalu perlahan mendorong tubuh Mona kedalam pelukannya

Satu hari setelah mereka jadian, semua telah berubah. Malam ini Edwin mengajak Mona dinner untuk pertama kalinya sebagai pasangan. Mereka duduk diujung restoran didekat kaca sehingga pemandangan kota dimalam hari bisa terlihat sangat jelas dengan taburan bintang dilangit. Edwin memesan satu piring steak dan Mona memesan satu piring pasta
"kamu suka?" tanya Edwin
"yeah! i like it!! kamu tepat memilih restoran Win!" puji Mona
"nikmatilah makanannya, ini sangat lezat!" ucap Edwin
"yea... i know!" ucap Mona sembari melahap pastanya
"Mon, mukamu pucat, apa kamu merasakan sakit?" tanya Edwin yang segera beranjak dari duduknya lalu duduk disamping Mona
"aku gapapa, aku sehat, ini hanyalah efek bedak sayang, aku tidak apa-apa sudahlah kita lanjut makan!" ucap Mona
"Mona aku pacar kamu, apapun yang terjadi kamu harus jujur ke aku, termasuk kalo kamu sakit!" ucap Edwin
"Edwin....... aku gapapa, aku baik, aku sehat, aku mau makan sudahlah kamu mengganggu saja!" kata Mona dengan sedikit tenaga mendorong Edwin
"makanlah!" ucap Edwin yang masih duduk disamping Mona
"uhmm aku akan ke toilet sebentar!" ucap Mona sembari beranjak dari duduknya. Baru setengah langkah Mona berjalan, Mona sudah kehilangan keseimbangan, Mona hampir jatuh namun Edwin segera menahannya
"Mona...!"
"aku gapapa, tenanglah!" kata Mona berusaha meyakinkan
"kita pulang!" ucap Edwin
"maaf merepotkan!" rintih Mona
"ini sudah menjadi tugasku!" ucap Edwin sembari memapah tubuh Mona

Edwin membaringkan tubuh Mona diranjang tempat tidurnya. Perlahan dia menyuapi Mona obat-obatan yang biasa diminumnya. Lalu menyelimutinya
"istirahatlah!" ucap Edwin sembari mengelus lembut rambut Mona
"thanks!" kata Mona
"ya, ini sudah menjadi tugasku untuk menjagamu. Aku akan pulang, besok kamu harus tampil cantik aku akan membawamu kesuatu tempat!" ucap Edwin
"kemana?" tanya Mona
lihat saja besok!" jawab Edwin dengan senyuman terbaiknya
"baiklah!" kata Mona tersenyum lalu menutup matanya

Mona memandang pantulan dirinya dicermin yang cukup besar. Dengan gaun selutut berwarna pink pucat, ditambah rambut yang digerai dan make up yang natural nampak serasi dipakai oleh Mona. Tangannya mulai menyentuh botol parfum kesukaannya, mencoba menyemprotkan kebeberapa bagian badannya, namun tangannya begitu lemas, tidak bisa mengangkat botol parfum itu, Mona masih berusaha namun botol parfum itu terjatuh ke lantai dan pecah
*praaaaak*
"Ya tuhan, jangan sekarang!" ucap Mona sembari mengangkat kedua tangannya hingga perut dan memandanginya
"Mon!" sapa Edwin yang sudah berada dibelakang Mona
"Win, kapan kamu datang?" tanya Mona bingung, dengan cepat dia menurunkan tangannya
"barusan, maaf langsung masuk aja soalnya tadi aku ketuk ga ada jawaban!" jawab Edwin
"Oh ya, aku bawa bunga buat kamu!" ucap Edwin sembari memberikan serangkai bunga 
"uhm simpan saja dimeja aku mau siap-siap dulu!" ucap Mona yang kemudian bercermin kembali 
"baiklah!"ucap Edwin sembari menyimpan serangkai bunga itu
"Mon!"
"iya Win?"
"itu botol parfum kesukaan kamu kan? kenapa bisa pecah?' tanya Edwin penuh selidik
"ehm itu anu tadi pas aku lagi ngaca ga sengaja kesandung jadi pecah, belum sempet aku beresin!" jawab Mona
"yaudah ah kita berangkat!" ucap Mona yang berjalan keluar kamar

"Win bisa kamu bukain pintu mobil untukku?" tanya Mona yang masih  berdiri tegak disamping mobil berplat E itu
"tidak masalah!" kata Edwin tersenyum, dia lalu membukakan pintu mobil itu dan Mona pun memasuki mobil disusul oleh Edwin
"kita akan pergi kemana?" tanya Mona
"kita akan melihat pesta kembang api dipusat kota!" jawab Edwin sembari menyetir
"kenapa sedih?" tanya Edwin saat melihat raut wajah Mona berubah menjadi kecewa
"aku salah kostum, harusnya aku tidak memakai gaun semewah ini kalo hanya melihat pesta kembang api, seharusnya aku memakai pakaian santai sepertimu!" ucap Mona
"Mona kau tetap terlihat cantik, sudahlah hanya karna kostum mukamu tidak enak dipandang!" ledek Edwin
"kaya mukanya enak dipandang aja!" ledek Mona
"kamu nih!" sembari mengelus lembut rambut Mona

malam ini kembang api menjadi hiasan dilangit, Mona menyandarakan kepalanya dibahu Edwin sembari menatap hangat kembang api itu
"kau senang?" tanya Edwin
"ya, terimakasih, karnamu aku bisa melihat indahnya kembang api ini!" jawab Mona. Hampir satu jam mereka melihat ramainya kembang api hingga selesai, namun mereka memutuskan untuk tetap ditempat itu beberapa saat
"aku takut...!" ucap Mona, Edwin menatap Mona lalu menggenggam tangannya erat
"kalo ini adalah hal yang aku rasakan untuk terakhir kalinya!" ucap Mona, air matanya telah jatuh menetes
"sudahlah Tuhan itu baik padamu, Tuhan menyayangimu, Tuhan selalu melindungimu!" kata Edwin
"aku percaya itu!" ucap Mona

~tapi siapa tau tentang umur seseorang? sekalipun Tuhan menyayangiku, aku tidak tau kapan Tuhan akan mengambil nyawaku~Mona

"Oh Tuhan lidahku kelu, kenapa sulit sekali untuk berbicara, tanganku sulit untuk digerakkan, Tuhan apa yang terjadi padaku?" bantinnya. Mona berusaha beranjak dari tempat tidurnya 
*bruuuuuuug* Mona terjatuh dari tempat tidurnya
"Mamaaaaa...Mamaaaaaa tolong Mona, Mona sakit mah tolong!" hatinya berteriak, dia menangis namun tetap badannya tidak bisa digerakkan
"Mona buka pintunya!" teriak seseorang dari balik pintu
"Edwin, Edwin tolong aku!" rintihnya
"Aku akan dobrak pintunya Mon, bersabarlah!" teriak Edwin
"Edwin cepat dobrak pintunya tante khawatir!" ucap Mama yang terisak dalam tangisnya
"1.......2.....3....!" kata Edwin sembari mendobrak pintu itu, namun pintunya masih belum bisa terbuka
"1......2.......3....!" Pintu itu akhirnya terbuka, Edwin dan mama segera berlari ke arah Mona yang sudah terbaring dilantai
"Mona!" Edwin menahan tubuh Mona dengan tangannya, air matanya mulai menetes begitupun mama
"apa yang sakit sayang?" mama mengelus lembut rambut anaknya yang sudah tidak berdaya
"sa...kit....!" ucap Mona terbata-bata
"kita ke rumah sakit sekarang!" ucap Edwin. Edwin mulai mengangkat Mona dan membawanya ke rumah sakit

Edwin terus mondar-mandir didepan pintu dimana Mona dirawat. Hatinya tak tenang melihat orang yang dia sayang sedang terbaring lemah dengan penyakitnya
"Edwin duduklah sebentar!" ucap mama
"iya tante!" ucap Edwin yang mulai duduk disebelah mama
"tante pun sama takutnya sepertimu, panik bukan hal yang tepat, kita hanya perlu berdoa dan terus berdoa tanpa henti!" ucap mama
"Aku sayang Mona tante!" ucap Edwin sembari menatap lurus pintu ruang inap Mona
"tante lebih sayang dia, dia anak tante, satu-satunya anak tante, satu-satunya yang tante punya. Tapi sekarang dia didalam sedang melawan maut. Sedangkan tante hanya bisa diam disini tanpa bisa menemani anak tante, tante takut kalo Mona pergi!" ucap mama yang masih menangis, Edwin mulai memeluk Mama Mona
"aku tau kau sayang pada Mona, aku percaya kau akan berikan hal yang terbaik untuk Mona!" batin Mama

*ceklek* dokter sudah selesai memeriksa Mona. Edwin dan mama menghampiri dokter itu
"bagaimana keadaan anak saya dok?" tanya mama
"ada yang perlu kita bicarakan nyonya!" ucap dokter itu
"kamu temani Mona ya!" ucap mama
"baik tante!" kata Edwin mulai memasuki kamar Mona
"mari nyonya!" ucap dokter itu
"iya dok!"

Edwin memasuki ruang inap dimana Mona dirawat, matanya berkaca-kaca melihat Mona dengan infus dan alat-alat kedokteran yang sangat banyak menempel dibadan Mona. Perlahan Edwin menyentuh rambut Mona lalu dia mengecup lembut keningnya. Disentuhnya tangan Mona dan diciumnya, air matanya benar-benar tidak bisa tertahankan lagi
"kamu sudah sadar??" tanya Edwin setelah melihat Mona membuka matanya, Mona menjawab dengan anggukan pelan
"kamu baik-baik saja?" Mona mengangguk pelan lagi
"aku menyayangimu!" ucap Edwin. butiran bening mulai menetes membasahai pipi Edwin
"jangan menangis, aku baik-baik saja. Aku menyayangimu sangat menyayangimu lebih dari kamu menyayangiku!" batin Mona

"nyonya kanker otak yang diderita Mona sudah memasuki stadium akhir. Mona kehilangan kemampuan berbicara, dia mengalami lumpuh permanen, karena syaraf-syarafnya sudah tidak berfungsi seperti dulu!" ucap dokter itu
"Mona lumpuh dokter?" tanya mama sekali lagi
"maaf hanya sampai disini kemampuan kami!" ucap dokter itu
"kau ini seorang dokter, apa tidak bisa kau kerahkan kemampuanmu agar Mona tidak lumpuh? Apa tidak ada cara lain dokter agar Mona bisa sembuh?" tanya mama dalam isak tangisnya
"satu-satunya cara adalah kemoterapy dan operasi nyonya! Tapi saya rasa itu percuma, kanker ini sudah tidak bisa diatasi!" jawab dokter
"Mona!" rintih mamah
"kita hanya bisa menunggu sampai kapan Tuhan akan memberi kesempatan hidup untuk Mona!" lanjut dokter itu
"terimakasih dokter!" ucap mama meninggalkan ruangan dokter itu

*ceklekk* Edwin menatap pintu yang telah terbuka. Mama menghampiri Edwin dan Mona. diciumnya kening Mona. Air matanya tak henti-hentinya mengalir
"tante, Mona baik-baik saja?" tanya Edwin, mama menatap Edwin sesaat
"kita bicarakan diluar!" jawab mama sembari keluar ruangan diikuti Edwin
"Mona baik-baik sajakan tante?" tanya Edwin
"Mona lumpuh Edwin, kanker otaknya sudah memasuki stadium akhir, tante takut Edwin tante takut!" jawab mama seraya menghapus air matanya
"lumpuh?" ucap Edwin, dia terduduk lemas, matanya berkaca-kaca, tak percaya dengan semua ini

Satu minggu sudah Mona terduduk dikursi roda, dan selama itu pula Edwin menemani Mona. Dengan sabar dan penuh kasih sayang Edwin merawat Mona. Wajahnya semakin dekat, bahkan nafasnya bisa Mona rasakan, dikecupnya lembut bibir Mona oleh Edwin. Edwin menatap Mona, menghapus air matanya dengan ibu jarinya
"tenanglah, aku tidak akan meninggalkanmu!" ucap Edwin tersenyum
"aku percaya itu!" batin Mona

White menjadi tema untuk pernikahan Mona dan Edwin, mereka sedang melakukan feeting baju dan prawedding untuk pernikahannya minggu depan. Dengan gaun yang sangat mewah dikenakan Mona membuat kesan indah, dan jas yang dipakai Edwin membuat kesan gagah
"kamu cantik!" ucap Edwin sembari menggenggam kedua tangan Mona
"aku adalah lelaki yang paling bahagia karna bisa menikahi wanita secantik kamu Mon!" lanjutnya lalu mengecup kening Mona
"ya memang kamu beruntung Edwin bisa meluluhkan hati wanita cantik seperti Mona!" ucap fotografer itu
"ya, aku sangat menyayangi Mona melebihi aku menyayangi dirikiu sendiri!" ucap Edwin sembari melemparkan senyum pada Mona yang sedang terduduk dikursi rodanya dengan gaun pengantinya. Lalu Edwin menghampiri Mona
aku takut bila suatu saat nanti aku pergi meninggalkanmu, meninggalkan mama, aku takut!" batin Mona
"jangan kamu fikirkan kata orang, aku menyayangimu tulus, tak peduli kamu sakit, kamu lumpuh, kamu bisa, aku tak peduli, kau tetap terlihat cantik dan sempurna dimataku!" ucap Edwin sembari memeluk Mona, Mona hanya bisa menangis dalam pelukan Edwin
"Tuhan jagalah mereka berdua dalam lindunganmu, berilah mereka kebahagiaan untuk menjalin kasih sayang!" ucap mama yang melihat mereka dari kejauhan

Semua tamu sudah berdatangan, dengan nuansa serba putih dan indah, bunga mawar putih menghiasi sudut ruangan dan pesta pernikahan yang sangat mewah juga megah. Kedua keluarga sudah datang untuk menyaksikan momen kebahagiaan Mona dan Edwin. Semua terlihat bahagia, Edwin menunggu Mona dengan gugup didampingi kedua orang tuanya dan Mona datang dengan gaun pernikahan yang sangat mewah dan duduk dikursi roda yang didorong mama, Edwin tersenyum begitupun Mona, mereka berdua duduk berdampingan didampingi orang tua masing-masing
"baiklah bisa kita mulai?" tanya pak penghulu
"ya!" jawab Edwin
"baiklah. Bismillahirohmanirrohim dengan ini saya nikahkan saudara Edwin Ferddy bin Asshabil Tian dengan Mona Rahma binti Hanantyo Gufron dengan seperangkat alat sholat dan sekotak perhiasan dibayar tunai!" ucap pa penghulu
"Tuhan jangan sekarang, biarkan sekali saja aku merasakan kebahagiaan. Jangan sekarang aku mohon! errr sakit sekali!" batin Mona seraya menahan rasa sakitnya
"saya terima nikahnya Mona Rahma binti Hanantyo Gufron dengan mas kawin tersebut tunai!" ucap Edwin
"bagaimana saksi sah?" 
"sahh..!"
"Yarhamukalloh...!"
*bruuuk* Mona jatuh pingsan
"Mona....Mona bangun Mona, Mona kamu kenapa?" tanya Edwin panik
""Mona sayang kamu kenapa? bangun sayang!" ucap mama yang ikutan panik. Edwin mengangkat Mona dan membawanya menuju rumah sakit

Semua panik, semua cemas, begitupun Edwin. Orang yang sekarang sudah menjadi istrinya sekarang sedang melawan maut. Air matanya tak bisa tertahan lagi, kenapa harus Mona? kenapa harus dihari bahagia ini? bertubi-tubi pertanyaan itu muncul dihati Edwin
"sabar Edwin, kamu harus berdoa untuk kebaikan istrimu!" ucap mama Edwin
"kenapa ma, kenapa harus Mona ? kenapa harus sekarang?" tanya Edwin sembari memeluk mamanya erat
*ceklek* semua orang berdiri saat mendapati dokter yang sudah keluar dari ruangan Mona
"dokter bagaimana dengan istri saya?" tanya Edwin cemas
"dokter jawab!" bentak Edwin sembari menggoyang-goyangkan tubuh dokter itu
"tenanglah! tenang dulu!" ucap dokter itu, Edwin melepaskan genggaman erat dibahu dokter itu
"maaf ini sudah kehendak Tuhan, saya hanyalah dokter, kami semua sudah berbuat semaksimal mungkin, namun Tuhan berkata lain, dia terlalu sayang pada Mona sehingga dia ingin Mona berada disampingnya! Mona telah meninggal!" ucap dokter itu dengan berat hati. Kesedihan menyelimuti mereka semua, Edwin memukul sekencang-kencangnya tembok rumah sakit meluapkan kemarahannya
"Edwin sudah Edwin, ini sudah menjadi takdirnya!" ucap mama Edwin mencoba meredakan emosi anaknya
"kenapa ma, kenapa harus sekarang, kenapa harus dihari bahagia ini?" Edwin memeluk mamanya dengan air mata yang tak berhenti. Mama Mona berlari menuju ruangan dimana Mona menghembuskan nafas terakhirnya, dipeluk dan diciumnya anak itu dengan air mata yang terus mengalir
"selamat jalan sayang, semoga kamu bahagia dan tenang disana, mama menyayangimu!" ucap mama. Edwin menatap Mona yang sudah terbaring tak bernyawa, dihampirinya lalu dipandanginya dengan sedih
"sabar Edwin, semua ini sudah takdir jangan salahkan takdir dan jangan membencinya!" ucap Mama Mona lalu meninggalkan mereka berdua
"Mona aku menyayangimu.. Kenapa harus sekarang dihari bahagia ini Mon? Aku ikhlas Mon aku ikhlas, tidurlah, ku menyayangimu sangat menyayangimu. Aku pasti merindukanmu, selamat jalan sayang!" ucap Edwin sembari mencium lembut bibir Mona

Dipandanginya makam Mona. Rasanya semua begitu cepat, serangkai bunga mawar putih kesukaan Mona ditancapkan didekat nisannya
"selamat jalan sayang, aku merindukanmu!" ucap Edwin, air matanya kembali menetes
"Edwin ayo!" ucap mama Mona
"iya ma!" ucap Edwin tersenyum lalu meninggalkan makam

~jaga dia saat aku tak ada lagi disampingnya~Mona






0 komentar:

Posting Komentar